Wednesday, June 19, 2013

Insan Dunia

insan dunia

kemilau hari matahari bercahya

menerangin pagi bahagiaku

ini rasa kembali lagi

walau jauh kuraih itu semua....

cumbumu senyummu

menjauh ku melamun

andai engkau kini

menjadi tambatan hati

kanku insani duniamu

kini selalumu...

sudah bertahun ku mencari

betapa kau yang selalu kini...

wahana hati padaku

peluk hatiku selalu

nan indah akanku selalumu...

andai kini kau di sisiku saatmu

Miyamoto-Haznam '14

Tuesday, June 18, 2013

Disudut Penantian

Disudut Penantian

Disudut penantian

Pandanganku terhenti tatkala aku melihat wanita tua itu

dia duduk sendiri disudut jendela,
dia memilih kursi yang tepat gumamku dalam hati
matanya nanar, dia hanya memandang laut yang sore itu tampak kelabu
diam...
dalam..
banyak rasa dan emosi yang lepas disana,
aneh..tapi aku mampu melihatnya



sesekali dia menghisap rokoknya
rokok tua yang sudah usang, terlihat dari warnanya yang lebih mirip cerutu
dia menghela nafas sesekali..
tampak kecewa sekaligus tak putus asa.

kuperhatikan dengan seksama raut wajahnya
tempaan hidup yang cukup dramatis tampak sekali membingkai kerutan kerutan di wajah itu
tubuhnya sangat tua, sangat lelah

aku tidak lagi memperhatikan lawan bicaraku yang sedari tadi tidak menyadari pandanganku
kepada wanita tua itu.
kembali kuperhatikan dia..
perhiasannya sungguh lengkap..
sudah kuno memang, tapi tampak banyak cerita yang tersimpan didalam perhiasan itu
usang..itu kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang dipakai wanita tua itu.
tepatnya apa yang ada pada dirinya

ini kali pertamaku datang ke kedai ini,
akupun menghentikan langkahku disini, karena cuaca sangat dingin
beberapa kali aku meniup niup tanganku,
hangatnya secangkir kopi dan tungku yang tak jauh dariku
melengkapi titik nyaman yang aku rasakan sore ini

seorang pria tengah baya menghampiri kami,
dia menawarkan kami untuk mengisi kembali cangkir kopiku yang telah kosong
aku menganggukan kepala...
dia tampak menyadari, sepenuhnya perhatianku tertuju pada wanita tua disudut jendela itu,
mataku masih menari nari mencari tahu sesuatu dari dirinya

"dia disana setiap hari..."
pria tua itu tiba tiba saja, melontarkan kalimat itu, membuyarkan konsentrasiku terhadap wanita tadi
"hahh..apa?" ujarku setengah terkejut
" iya dia disana setiap hari, dia menunggu kekasihnya.."
pria itu menjelaskan santai sambil menungkan kembali kopi hangat ke cangkirku.
dia tampak paham sekali apa yang sedang menjadi perhatianku

"sudah sejak dua puluh tahun yang lalu dia disini" pria itu setengah berbisik kepadaku dan temanku
"oh ya, apa yang dia lakukan? setiap hari? disini? " ujarku
" iya, setiap hari..hampir tidak pernah absent.." pria itu kembali berbisik, dia tampak takut wanita itu menyadari perbincangan kecil kami.
di kejauhan tampak wanita itu menghisap dalam rokoknya.



"Menurut orang orang, dia menunggu kekasihnya. kekasihnya yang tidak pernah kembali.."
pria tua itu semakin membungkuk untuk berbisik kepadaku. bau alkohol yang pekat jelas tercium olehku. dia sungguh bau, aku tak tahan...

"apa yang terjadi dengan kekasihnya?" aku bertanya seraya meniup niup tanganku.
" Ditelan buih laut" ujarnya mengernyitkan dahi
" pria itu konon mati dalam perjalanan kembali ke sini, kapalnya karam..dan itu terjadi sekitar 21 tahun yang lalu.."

mataku kembali menatap wanita itu, dia masih tidak menyadari telah menjadi bahan obrolan kami sore itu,
tatapannya dalam, memang benar ia tampak menunggu sesorang untuk datang.
pandangannya kosong, tetapi penuh harapan...
terlihat jelas tubuhnya sudah lelah menunggu, tapi mungkin tak senada dengan hatinya yang tidak pernah menyerah.

"kau tahu, dia selalu meninggalkan sebuah nama di tissue kopinya..ALFRED"
pria tua itu berjalan pelan meninggalkan kami.


Sejam kemudian kami memutuskan untuk kembali kerumah, wanita itu masih duduk disana
menikmati secangkir kopi dan roti gandum miliknya.
Menu yang tidak berganti selama dua puluh tahun terakhir ini.
Dia masih menunggu pria itu..
Alfred-nya yang entah kini ada dimana..
aku kembali melemparkan pandanganku padanya
kali ini dari luar jendela..
semoga dia dapat menemui Alfred-nya
suatu hari nanti..

Catatan Cireng

Semangkuk Cireng Panas yang baru saja digoreng
menghangatkan tenggorokan saya sore ini
ditemani oleh secangkir teh manis hangat
saya menyantap beberapa dari cireng yang tersuguh apik didepan saya
satu persatu saya nikmati
diselingi hangatnya teh yang membasahi tenggorokan saya

makanan sederhana ini, memberikan catatan sederhana kepada saya
catatan mengenai hidup yang saya dan manusia lainnya jalani.
terbuat dari bahan sederhana, diolah secara sederhana dan disuguhkan secara apik
siapapun yang mau bisa membuatnya,
siapapun yang menyukainya bisa menyantapnya seperti saya sore ini
siapapun yang menginginkannya tidak akan kesulitan untuk mendapatkannya

jauh dari kesan makanan mewah yang saya makan beberapa waktu yang lalu
makanan mewah yang tidak mengenyangkan sekaligus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah
tentu saja jauh diluar jangkauan penggemar cireng yang sekedar stop sepulang kerja
dan mengeluarkan uang 5000 perak lusuh dari koceknya
untuk menyantap makanan kampung ini dengan puas.

Saya perhatikan cireng yang saya makan kali ini
putih dan hangat, hanya saja dibeberapa bagian ada butiran butiran berwarna hitam kecoklatan
entahlah...
apakah itu kotoran dari minyak yg digunakan
apakah itu merupakan bumbu penyedap yang ditambahkan pada saat pengolahan

yang jelas, begitulah hidup
walau tampak putih dan jauh dari masalah, apabila kita perhatikan masih ada bercak bercak pengotor yang menempel didalam dan juga dipermukaannya
ada beberapa yang tampak lebih banyak dibagian luar
tetapi ada juga bercak pengotor  yang tampak terlihat lebih banyak dibagian dalam cireng ini

setiap cireng yang tersuguh dihadapan saya sore ini
walau tampak serupa , tentu saja tidak sama
sejenak saya mencoba memperhatikan bentuknya
indeed SERUPA TAPI TAK SAMA

sama seperti manusia, tampak sama diluar dan bentukannya
tetapi memendam cerita dan noktah yang berbeda beda
sama seperti makanan ini,
tentunya tidak mungkin bukan, ketika saya memutuskan untuk menelan salah satu dari mereka
saya harus membuka dan melepaskan bintik bintik pengotornya satu persatu

justru saya sadari, beberapa diantara pengotor itu justru yang membuat cireng ini menjadi nikmat untuk disantap
begitulah hidup, tidak terlepas dari "Pengotor Pengotornya"
pengotor yang tidak dapat kita pilih akan berada dibagian dalam atau justru hanya dipermukaan hidup kita.
yang bisa kita lakukan, santap dan nikmati..
karena kombinasi dari bahan sederhana, pengolahan sederhana dan beberapa bercak pengotor yang ada didalamnya justru membuat hidup kita menjadi lengkap dan nikmat

Saya menutup laptop saya sore ini, kembali menyantap satu buah cireng yang sudah mulai dingin
saya bergumam dalam hati, ini yang terakhir

Catatan Cireng, 2013
RVS








Something is better left unsaid

Terik matahari menerpa wajah saya
Sekejap membakar kulit saya yang sebenarnya sudah mulai memerah sejak kemarin
Saya hanya diam bermandikan cahanya
Saya hanya berdiri disini berusaha menantang sinarnya

Tapi saya kalah
Tapi saya tak kuasa
Ada kata kata yang tak terucap
Ada kata kata didalam jiwa terdalam yang tidak mungkin terucap di bumi ini
lebih tepatnya didunia saya
Ada sisa kata kata yang sayapun yakin sudah bukan waktunya lagi untuk saya muntahkan
sudah bukan waktunya lagi...

Masih pada posisi yang sama. saya berusaha menentang matahari
saya semakin terbakar
kulit saya semakin memerah dan berdarah
kembali saya berusaha bertahan
kata kata itu lebih baik hancur didalam jiwa terdalam saya
kata kata itu lebih baik saya sadari bahwa itu hanya debu masa lalu yg harus dikubur jauh di lautan hati saya

Tidak semua hal bisa diucapkan
Tidak semua hal dan isi hati bisa dengan mudah diutarakan
Tidak semua apa yang kita mau bisa kita ucapkan

Saya benar menyadari bahwa, ada hal hal tertentu yang memang better left unsaid,
dibawa
dikubur
dan dihempas
ke ujung relung jiwa terdalam
hingga kita lupa, walau sebenarnya selalu ada
hingga kita lupa, walau sebenarnya selalu ingat

Kata kata...
hanya sebatas untaian kalimat bermakna dan tidak bermakna
yang mungkin tidak semua dapat menjadi prosa
yang mungkin hanya akan menjadi bermakna bila menjadi asa diujung jiwa yang lara

Hari ini, masih dengan prinsip yang sama,
saya kembali membiarkan matahari menerpa wajah saya
mengunci kata kata yang lebih baik berdiam diujung asa