"BISA GAK SIH KAMU CERAI SAJA SAMA ISTRIMU!!"
kata-kata ini langsung dituliskan Nur di wall Facebook milik Anto. Tak ada tanggapan berarti dari istri Anto mengenai tulisan yang terpampang dengan huruf besar di wall facebook suaminya itu.
Tak jauh pula reaksi dari Anto sendiri. Nur sebenarnya tahu kalau pasangan suami istri itu bakal tak menggubrisnya lagi, jangankan menggubrisnya, menyapanya di wall saja tidak akan mungkin mereka lakukan.
Saat ini Anto dan Dina menganggap Nur sudah tidak ada. Tapi seakan kerasukan setan Nur tidak perduli dan terus masuk kedalam kehidupan mereka, ini semua karena dia sudah terlanjur kepincut sama Anto yang telah beristri itu sehingga membuat Nur kehilangan akal sehatnya.
Nur sebenarnya sangat sadar kalau cintanya pada Anto sudah bertepuk sebelah tangan sejak awal pertemuan mereka di facebook.
Dan dengan jelas Anto juga tak bakal mau menerima Nur sebagai pacar, apalagi istrinya. Semua itu tidak mungkin terjadi bagi seorang Anto.
Ketika berkenalan pertama kali, Anto juga tidak pernah mengira kalau perasaan Nur kepadanya bisa sampai sejauh saat ini. Anto sudah menganggap Nur sebagai adiknya sendiri, begitupula Dina istri Anto sudah menganggap Nur sebagai sahabatnya.
Nur tergolong sangat sering curhat di wall facebook milik Anto. Terkadang kalau ada hal hal yang sifatnya sangat pribadi, maka Nur akan meneruskannya di inbox milik Anto. Kalau sudah begitu, Anto akan menjawab dan membalas isi curhatan Nur dengan penuh perhatian dan solusi, tak hanya itu dia juga akan menenangkan Nur dengan memberinya beberapa petuah tentang kehidupan.
Setelah itu, Nur akan merasa lega dan bahagia karena memiliki tempat berlabuh dan bercerita tentang semua permasalahannya. Sosok Anto-lah yang selama ini dicari oleh Nur, dewasa, penuh perhatian, dan mau mendengarkan semua keluh kesahnya.
Sifat dan perangai Anto sangat bertolak belakang dengan kakak Nur. Kakak Kandung Nur yang bernama Sutan itu sangat temperamen dan pemarah, semua yang dilakukan oleh Nur pasti salah di matanya. Terkadang Nur sering dipukul dan dicemooh oleh kakaknya itu.
Alasan tindakan kakaknya itu adalah supaya Nur lebih tegar dan kuat dalam menjalani kehidupan yang keras ini. Cara ini tentu saja sangat salah, namun kekolotan ayah mereka dimasa lalu telah menguasai cara pandang kakaknya dalam mendidik Nur. Kakaknya selalu menyalahkan semua tindakan Nur.
Pergi ke salon untuk membenahi rambut panjangnya saja selalu dilarang.
Padahal, Nur juga sangat ingin untuk mencoba apa itu manicure dan padicure, creambath, hingga facial. Kalau Nur memaksakan kehendaknya, sesampainya di rumah, kakaknya akan kembali memukuli Nur hingga habis-habisan. Ibu Nur yang sudah sangat renta, hanya mampu diam seribu bahasa dan terdiam menangis, serta tak mampu membela Nur.
Ini adalah sepenggal cerita mengenai kehidupan dan nasib Nur di luar dunia maya. Nur sebenarnya adalah anak sangat baik dan ramah. Tutur katanya pun santun dan sopan, suara Nur sangat lemah lembut melebihi seorang putri keraton. Sayangnya, banyak pria yang tidak menyukai keberadaan Nur didekat mereka. Mereka sering memandang Nur seperti makhluk yang aneh, seperti melihat kedatangan alien yang aneh dan membingungkan.
Nur sendiri terkadang sangat heran dengan keadaan tersebut. Padahal, Nur merasa memiliki paras yang cantik dan mempesona. Dan hal ini bukanlah pengakuan Nur semata, teman-temannya di salon pun banyak yang memuji kecantikannya. Namun, kenapa para pria itu seringkali memandangnya sebagai makhluk aneh dan seringkali menertawakannya. Nur hanya bisa pasrah menerima nasibnya, dan berharap akan bertemu dengan pria pujaannya suatu hari nanti, yang mampu menerima dirinya apa adanya.
Nur terus berdoa dan berdoa di setiap sembahyangnya.
Hingga akhirnya doa doa Nur dikabulkan oleh Tuhan.
Sejak menjadi anggota di Facebook, Nur punya banyak teman maya yang tak peduli dengan keadaannya dan juga tidak pernah mengolok oloknya.
Di salah satu jejaring sosial terbesar didunia itu pula Nur mengenal Anto.
Berkenalan dengan Anto di Facebook membuat hidupnya berubah. Nur telah menemukan sosok yang dicarinya selama ini. Anto adalah pria yang sangat baik dan perhatian terhadap semua cerita Nur tentang masalah pribadinya.
Nur juga bercerita tentang kakaknya yang kejam dan kasar. Mereka berdua juga suka chating. Anto juga memberi Nur nomor teleponnya. Anto memang sosok seorang pria yang penuh perhatian.
Benar benar sosok idaman Nur.
Selain itu, Anto juga sangat tampan dan manis, juga macho serta bertubuh atletis. mirip para model di majalah Men’s Health yang sering Nur beli dan baca. Nur memang sosok penggemar pria bertubuh atletis.
Sungguh beruntung perempuan yang menjadi istri Anto sekarang. Nur juga berteman dengan Dina istri Anto di Facebook. Paras Dina juga sangat cantik dan dapat terlihat jelas dari wall facebook dan comment commentnya dia juga merupakan perempuan yang baik hati.
Selama persahabatannya dengan Nur, Anto tak menaruh curiga sedikit pun pada Nur. Dia tak menyangka kalau dari hari ke hari Nur terus menumpuk perasaan cinta pada dirinya. Anto tak pernah sekalipun menduga kalau Nur juga mempunyai perasaan posesif pada dirinya.
Hingga suatu hari, Nur yang sangat menyukai dirinya mencurahkan segala perasaannya pada Anto lewat facebook.
Segala macam kata-kata manis dan cinta ditumpahkan Nur dalam sebuah message dalam inbox Anto. Dan hal itu juga dilakukan Nur pada saat bertemu pertama kali dengan Anto di sebuah cafe dibilangan Jakarta pusat. Selama ini, mereka memang tak pernah bertatap muka secara langsung meski Nur sudah memaksanya beberapa kali.
Namun Anto terus saja menolaknya dengan berbagai alasan, mulai dari alasan sebenarnya hingga dia terpaksa berbohong agar tidak melukai hati Nur. Anto baru bersedia bertatap muka setelah Nur mengancam akan bunuh diri dan membuat surat terbuka di wall Facebook Anto tentang penyebab kematiannya nanti.
Tentu Anto yang seorang pria baik baik tak mau hal itu terjadi. Anto dan Dina juga berpikir mungkin tidak ada salahnya memenuhi permintaan Nur, toh pertemuan itu dilakukan di tempat yang ramai.
Pertemuan itu pun terjadi dan sekaligus menjadi pertemuan pertama dan terakhir bagi mereka berdua.
Keterusterangan Nur mengenai perasaan cintanya tak bisa diterima oleh Anto. Anto hanya menjawabnya dengan ucapan, “Nur, Hubungan kita tak mungkin bisa lebih jauh lagi dari ini”.
“Ini semua tidak bisa terjadi, saya tak bisa berhubungan dengan kamu dan mencintai kamu seperti saya berhubungan dengan istri saya atau perempuan lain”, lanjut Anto lagi. Kali ini dia tampak cukup tegas pada Nur.
Sebelum Nur membalas jawaban Anto itu, Anto sudah berdiri dari duduknya dan ia segera bergegas meninggalkan meja mereka berdua, dan Antopun pergi begitu saja. Hati Nur hancur dan kecewa, dia menangis dan sangat terluka akan sikap Anto.
Kekecewaannya yang luar biasa itu dilampiaskan Nur dengan meneror habis habisan keluarga Anto. Nur meneror Dina istri Anto. Anto pun juga ikut ikutan diterornya hingga ke kantor.
Pernah suatu kali, Nur mengirimi Anto puluhan kotak coklat mahal dan bunga mawar merah ke kantornya,
Nur melakukannya karena terinspirasi film “American Beauty”. Bahkan Nur juga mengirimi karangan bunga tanda duka cita pada Anto.
Teman-teman sekantor Anto, setelah mendengar penjelasan Anto mengenai kisahnya dengan Nur malah tertawa-tawa melihat semua kejadian aneh itu.
Pada puncak kekecewaannya pada Anto,
Nur memutuskan untuk menulis sebuah pesan pada wall Facebook Anto,
"BISA GAK SIH KAMU CERAI SAJA SAMA ISTRIMU!! DAN MENGHAPUS WAJAHNYA DARI FACEBOOKMU..".
“Karena perempuan itu , kamu jadi menolak cinta ku yang tulus ini”, lanjut Nur lagi.
Membaca hal itu, Anto dan Dina hanya bisa tersenyum dan tertawa kecil.
“Kenapa ya sayang, dia harus membenci aku dan menyuruhmu menceraikan aku di Facebook”, tanya Dina ke Anto.
“Sayang.." Anto merangkul Dina
"Ini semua karena semua bermula dari Facebook”, jawab Anto seraya tersenyum pada istrinya.
Dua minggu kemudian sejak postingan kasarnya di wall facebook Anto, Nur kembali menulis pesan berikutnya,
“Mas Anto, saya benar benar minta maaf, saya sudah berbuat salah besar pada Mas Anto dan Mbak Dina. Saya tahu persis bahwa tindakan saya ini salah. Untuk itu saya minta maaf ya mas. Tapi kini saya tidak lagi punya teman yang mau mendengar saya. Untuk apa saya hidup, di rumah bagai neraka bagi saya, tak ada tempat bagi orang seperti saya. Ini pesan terakhir saya, besok saya berencana mau cari tempat di dunia "lain", yang mungkin saja mereka mau menerima keadaan saya yang seperti ini.
Maafkan saya Mas. Peluk sayang dan cium dari "NURDIN ANDANG PERDANA” yang akan selalu mencintaimu.
Sunday, July 10, 2011
Friday, July 8, 2011
Chapter of Life
Chapter 1
Tak lagi dapat kualihkan pandanganku darinya.
Dia sangat tampan,
Sangat rupawan.
Pria itu berpakaian sangat rapi.
Dengan jasnya yang berwarna gelap, dan dasinya yang jauh lebih terang,
Dan tatanan rambutnya yang sangat rapi dan sedikit kaku,
Semuanya tampak sempurna.
Dia suamiku,
Pria ini telah menikahiku sejak enam tahun yang lalu,
”Ah...masih saja aku mengaguminya, semakin berumur dia semakin menawan saja”.
Masih tak dapat kulepaskan pandanganku dari tubuhnya, ”sangat seksi...” ujarku,
Walaupun dia berpakain lengkap, tak dapat kuhindari khayalku akan dirinya.
”Sayang aku berangkat dulu ya...” dia mengecup keningku,
”Hari ini kamu akan dirumah saja, atau akan mengantar anak anak untuk membeli baju ?” ujarnya lagi.
Aku masih bergelayut dalam pelukannya, manja tanpa ada keinginan untuk menjawab pertanyaannya.
”Iya, nanti jam sebelasan aku mau ke mall”. Ujarku membalas pertanyaannya.
”Kamu akan pulang malam lagikah malam ini?” aku sedikit memicingkan padaku padanya, masih menggeliat manja dalam pelukannya
”Iya, aku ada meeting sampai jam delapan nanti malam, dan kamu tahu sendiri kan, jalan pulang kerumah macet sekali jam segitu, paling aku akan sampai rumah jam 11 malam”
Dia menarik tubuhku, dari pelukannya..
Dia menatapku..
”Kamu tidak curiga kan sama aku...?”
Sejenak susasana menjadi hening.
”Tidak sayang,...aku hanya bertanya” aku teresenyum berusaha mencairkan suasana.
”Kamu nanti ke mall sama siapa?” dia kembali bertanya
”uhm uhm, aku akan menyetir sendiri..” seketika jantungku berdegup kencang.
Ketika dia menanyakan hal itu. Aku memang tidak mahir menyetir, terkadang Rendy suka melarangku untuk membawa mobil, karena takut membahayakan keslematanku dan anak anak.
”Iya , hati hati dijalan, kamu ajak Sani khan?..” tanpa kuduga dia mengizinkanku kali ini
Sani adalah baby sitterku yang mengurus anak kami Randa dan Dinda,
”Pastinya...” aku kembali memeluknya, dan mencium pipinya.
”Ya sudah, aku berangkat dulu ya sayang...”
”Iya hati hati dijalan...Assalamualikum”
”Waalaikum Salam”... Rendy melangkahkan kakinya dari rumah kami, menuju ke mobil sportnya yang berwarna hitam.
Tampak sangat tampan,
Tak ingin aku kehilangan dirinya.
Chapter 2.
Hidupku sempurna
Tak ada yang kurang dalam rumah tanggaku,
Anak anak yang lucu, Randa dan Dinda adalah anugerah terindah dari Tuhan buatku,
Sepasang anak lelaki dan perempuan yang sangat cerdas dan lucu.
mewarnai hari hariku dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini
tak ada yang dapat menggantikan keberadaan mereka dalam hidupku
Rendy, Suamiku yang sangat tampan dan menyayangiku,
Rumah yang besar, mata pencaharian yang berkecukupan,
Harta dan perhiasan, sudah bergelimang dalam laci kamarku dan di ditabungan kami terkadang semua hal yang sedikit berlebihan itu kami ubah dan menjelma menjadi surat surat berharga yang nilainya selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Untuk masa depan Dinda dan Randa nantinya...
Aku sendiri.
Rendy menyebutku ”Bidadari”
Tubuhku sangat indah, rambutku yang lurus dan panjang, sangat ”memabukkannya”
Dia selalu mengatakan, rambutku tak henti menggodanya.
Kulitku putih dan bersih..
Wajahku?.... akulah yang selalu menjadi idola di sekolah dan di kampus, hingga membuat seorang Rendy tergila gila padaku.
Pagi ini, sama seperti pagi pada hari hariku yang lainnya
Aku membuka jendela kamarku,
Aku menghirup udara segar yang dihasilkan oleh embun pepohonan di taman rumahku.
Kolam renang berukuran besar sudah terbentang disana.
Sangat indah dan mewah...sungguh pemandangan yang tidak lazim bagi kaum menengah.
Begitulah ujar teman teman sekantorku dulu ketika mereka bertandang dan memasuki kamarku.
Tampak anak anakku, sedang berenang bersama Sani disana.
Aku tersenyum, mereka tampak sangat sehat dan menggemaskan
Dipojok kamarku..
Sebut saja, semua tas bermerk dengan kualitas terbaik sudah tersusun rapi disana, aku tinggal memilih mana yang sesuai dengan pakaianku pada hari itu, sepatu, perhiasan, dan make up kelas satu, sudah bertengger manis di meja rias dan lemariku.
Semua hadiah dari Rendy dan orang tuanya untukku.
Sungguh beruntung aku memiliki mereka.
Ah...sungguh beruntungnya aku..gumamku pelan.
Tak henti kusyukuri tiap nikmat yang diberikan Tuhan untukku
Hidupku sempurna,
Apalagi yang diinginkan oleh seorang wanita
Jika sudah menjadi aku....
Aku berbalik dari jendela dan berjalan menuju tempat tidurku yang sudah tersusun rapi.
Bi Ina sangat rajin dan rapih dalam menata dan membersihkan rumah ini, dia adalah pengikut setia orang tua Rendy, sejak lebih dari tigapuluh tahun yang lalu.
Aku mengambil handphoneku,
Aku merogoh tas yang aku gunakan kemarin,
Tas seharga puluhan juta itu masih tergeletak tak berdaya disudut tempat tidurku.
Aku menekan sebuah nomor telepon yang sangat aku hafal
Nada sambung terdengar dari kejauhan...
Cukup lama baru diangkat...
”Ana Sayang....Haii, kamu apa kabar nak... terdengar suara ibu dikejauhan, diselingi suara tangisan bayi yang terdengar sayup sayup.
” Ibu....aku sehat, ibu lagi dimana?” aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur, sedikit kuhempaskan sehingga rambutku menjadi berantakan dan menutupi wajahku.
Aku membenarkan posisi rambutku dan meneruskan pembicaraan.
” Ibu hari ini di Hamburg nak, ini lagi main bersama Nadine.., ayo ayo say haii with aunty Ana”
“Hai Nadine… this is aunty Ana…” aku menyapa Nadine yang sedari tadi menangis,
“Good girl don’t cry…cup cup..” aku kembali menyapanya, suara Nadine terdengar menggemaskan.
Nadine Koehlen… dia kepnakanku, anak Franda adikku perempuanku satu satunya, hanya aku dan Frandalah yang menjadi tumpuan hidup bagi ayah dan Ibu.
Franda menikahi seorang pria berkebangsaan Jerman Tiga tahun lalu, setelah menikah di Indonesia mereka kembali ke Jerman dan membawa serta ibu kesana untuk membantunya mengurus Nadine.
Wajah Nadine sedikit mirip dengan Dinda, hanya saja dia lebih ”Bule” ujar ibuku, dia menggambarkan dan memberitahukan bagaimana wajah Nadine tampak terlihat jika disandingkan dengan Dinda-ku.
“Pasti Nadine lucu sekali yah bu...“
“Yah...biasa An, seperti kebanyakan bayi bayi jerman lainnya“ ujar ibu membalas ucapanku.
Aku terdiam sejenak.
Chapter 3
Berlin – German 1999
Masih dalam percakapan yang sama, ibu menceritakan bagaimana Nadine,
mulai tumbuh dan mulai belajar berbicara.
”Ibu kadang capek mengurus Nadine...nggak diem An, Randa dan Dinda apa kabar disana, duh ibu kangen sekali pada mereka...”. Ibu terus bercerita mengnai perasaannya disana, dia juga bercerita tentang bagaimana Franda mulai sangat disibukkan dengan bisnis Cateringnya masakan Indonesianya disana bersama Paul suaminya yang juga adalah chef lokal disana
”Mereka sekarang terus berpindah pindah tempat..”ujar ibuku.
”Tawaran untuk membuka cabang terus berdatangan dari waktu kewaktu An, semakin sukses saja, tapi juga semakin sibuk”
” Kadang ibu lelah, kamu tahu sendiri kan ayahmu sudah sangat tua, dan terkadang sudah tidak kuat lagi untuk menempuh perjalanan jauh..”.
”Ibu hanya kasihan pada Franda yang terlalu sibuk sampai tidak bisa mengurus Nadine dengan baik.” ibuku kembali mengeluh mengenai gaya hidup Franda adikku yang terlalu mandiri dan bebas.
”Ya sudah, kalau ibu dan ayah lelah, pulang saja ke Indonesia, tinggal disini sama Ana dan mas Rendy.., Randa dan Dinda juga pasti kangen banget sama oma dan opanya”
” Iya nak, nanti ibu coba bicara sama Franda, Kasihan ayahmu...tampaknya dia kurang betah disini, enakan makan nasi padang katanya, daripada makan kentang dan pasta..”
Tawa pun meledak ditengah tengah pembicaraan kami...
”Aku kangen ibu, Ibu pulanglah ke Indonesia....nanti biar aku dan mas Rendy yang mengurus surat surat dan tiketnya ya..”. Ibu terdengar berat menyanggupi permintaanku, namun pada akhirnya dia mengiyakannya.
” Iya Na, tapi bagaimana dengan Nesta....”
Aku hanya terdiam,
Rasa hangat seketika menyelimuti tubuhku
Berlin, March 1999
Aku duduk terdiam menangisi keadaanku.
Udara sangat panas, tetapi angin yang dingin terus bertiup dengan kencang dan menyiksa tulang tulangku.
Hari ini aku tidak masuk kuliah, aku hanya duduk terdiam dikamarku
dan hanya betemankan sebuah foto usang yang telah terkoyak seribu.
Danny, itu fotonya yang ada dipelukanku...
Masih kuingat jelas pertengkaran semalam.
” Kau tidak bisa begitu saja meninggalkan aku, Dan...”. Danny tak bergeming dari kasurnya
” Aku mengguncang guncang tubuh Danny. ”Katakan sesuatu...., katakan kau akan bertanggung jawab atas semua ini..”
” Demi Tuhan, aku mohon Dan, apa yang akan kukatakan kepada kedua orang tuaku....”
Aku menanggis terisak, Danny hanya menutupi wajahnya yang kusam dengan kedua tangannya.
Franda mendatangi Danny, dan sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya.
” Ini untukmu bajingan...” Dia memaki Danny dan menamparnya.
”Danny tetap tak bergeming..., aku tidak bisa.., Im so sorry...I cant..”
”Bajingan kau...!!!!” Franda kembali akan memukulnya.
”Jangan.....jangannnn Fran...” aku berusaha menahan amarah Franda yang meluap.
” Ana, aku sungguh heran padamu, apalagi yang kau harapkan dari Bajingan ini..., Janjinya palsu, kau mengandung anaknya, tapi dia hanya diam saja dan hanya bisa mengeluarkan teriakan teriakan bodoh dan berkata tidak tidak....”. Franda berteriak padaku. ” Kau bodoh....Ana, kau sungguh bodoh”.
Franda menarik tanganku dan mengajakku meninggalkan ruangan itu.
”Danny...sadarlah kau...” Franda menarik tangangku dan aku terus berteriak kepada Danny yang hanya diam saja.
Danny adalah dosenku, dia pria asal jerman yang cukup tampan,
Sementara aku berpacaran dengan Rendy, hari hariku kulalui dengan mengikuti kelas bahasa yang diadakan oleh Danny.
Danny bermata biru, berambut cokelat, usianya 30 tahun saat itu, sementara aku baru berusia 22 tahun. Dia tampak menawan setiap kali dia menggunakan bahasa bahasa yang tak kukenal untuk menyapa kami dikelasnya.
Seorang pria paruh baya dan kemampuan berbahasanya yang luar biasa, tak ada yang lebih keren dan romantis bagi seorang anak ingusan sepertiku saat itu.
Awalnya aku mengikuti kelasnya karena aku memang menyukai bahasa,
Bahasa merupakan bentuk pengungkapan makhluk yang bernama manusia, dengan bahasa kita dapat mengerti dunia, begitu ujar Danny saat itu, sungguh memabukkan aku yang bodoh ini.
Pertemuanku dengan Danny, bermula dari hobbi taruhanku bersama teman teman lainnya. Danny yang memimpin acara taruhan murid muridnya, semua berjalan begitu saja, sering aku menyelinap di musim dingin dan keluar mengendap endap dari kamar asramaku hanya untuk bertemu Danny. Dia menungguku disana, di taman belakang perpustakaan, sangat sepi dan dingin..tapi itu merupakan tempat favorite kami.
Sering juga aku berbohong pada Rendy, ”Iam sorry honey, I cant be with you tonight...I need to finish my task.” Lagi lagi aku berbohong padanya.
Aku mencintai Rendy, tetapi aku tergila gila pada pria Jerman ini, aku sungguh dibutakan oleh cinta.
Sejenak aku mampu melupakan Rendy dari benakku.
Ibu dan ayahku sangat menyukai Rendy, dan seringkali melarang aku pergi bersama Danny, yang menurut mereka, bermasa depan tidak jelas dan tua...
Serta sudah berkeluarga
Tapi aku tidak mendengarkan mereka.
”Hei..baby.....” aku berlari kearah Danny yang sedari tadi sudah menungguku.
” Aku memeluk tubuhnya erat, dan kamipun berciuman” cuaca yang dingin membuat aku dan Danny larut dalam suasana.
”Danny, do you miss me babe...”.
“ Sure beautiful. I miss you so…” kembali Danny melumat bibirku yang membeku.
Kami berciuman seakan waktu terasa berhenti, tangan Danny mulai “Nakal” menjelajahi tubuhku.
Aku pasrah……
Telepon Danny berbunyi.
Dia menegakkan tubuhnya, dan melepaskan pelukanku.
Dia segera mengangkat Handphonenya, dan berlari menjauh dariku....
Dia berlari kecil menjauhiku.
”Wait babe....”
Terdengar sayup sayup dia berbincang bincang dengan seorang wanita, suara itu terdengar walaupun kurang jelas.
Aku cemburu...aku terbakar api cemburu.
Danny kembali menghampiriku, segera setelah ia menutup telepon itu..
” Siapa...” ujarku curiga
”Istriku...., anakku sakit, aku rasa aku akan izin untuk tidak mengajar besok..”
”oohh....” aku memalingkan wajahku dari Danny.
Danny menarik tubuhku..”Kamu cemburu?, ayolah..aku adalah seorang ayah, tak mungkin aku meninggalkan anak anakku bukan..”
Hatiku marah mendengarnya...” Bukan masalah ayah atau bukan, hanya saja kau memang tidak bisa meninggalkan istrimu untuk aku, Kau masih mencintainya kan..!!”
Aku sedikit memakinya dengan nada tinggi.
” Ayolah Ana, jangan bersikap seperti anak kecil, kau tahu aku mencintaimu...”
Aku menghadap kearah Danny, dan memegang pipinya.
” Honey, tinggalkan dia...nikahi aku..., aku sedang mengandung anakmu”
Danny terhenyak dan melepaskan tanganku dari pipinya....
”Apa...hah” ujarku terkejut ” Apa ? kau tidak mau bertanggung jawab...”
Danny menatapku bagaikan seorang pengecut ” Kau yakin....” ujarnya padaku.
” Apa maksudmu yakin ..., tentu saja aku yakin, aku Hamil dan ini anakmu Danny..”
” Kau yakin itu bukan anank Rendy..”. Aku menampar wajahnya. Dan berlari meninggalkannya.
”Keparat kau.....” bentakku.
Berlin, May 1999
Udara pagi ini sangat panas ..walau angin bertiup dengan kencang masih sama seperti bulan bulan sebelumnya.
Kandunganku sudah mulai tampak...
Perutmu mulai membesar.
Danny menghilang bagaikan pengecut yang ditelan oleh alam...
Malam malam penuh tangisku terus berlalu.
Terus berjalan...
Aku dan Franda masih saja berusaha menyembunyikan kehamilan ini dari ayah dan Ibu serta Rendy.
Rendy....aku menutup wajahku dan melihat tubuhku dikaca
Maafkan aku...honey.
”Mau sampai kapan An.....” Franda terus mendesakku untuk segera berterus terang kepada ayah dan ibu.
” Come on...perutmu semakin membesar, bahkan Rendy saja sudah mengatai kau menggemuk..”. Franda mendekatiku, dan memelukku.
” Aku tahu kau tidak tega melihat reaksi ayah dan ibu yang akan sangat kecewa, tapi anak ini, didalam perutmu akan terus tumbuh, dan cepat atau lambat mereka akan tahu...”
”Dan Rendy...aku tidak tahu An, apa yang akan terjadi...”. Hadapilah, jangan kau menjadi pengecut seperti Danny...”. Franda meninggalkanku sendiri didalam kamar, sesaat setelah dia mengucapkan kata kata terakhirnya.
Aku kembali menangis terisak....
Jakarta, July 1999
”Plak....” sebuah tamparan pedas mendarat di pipiku.
”Bodoh kau An, ibu tidak menyangka kau sebodoh itu....”
Ibu menatap perutku yang telah membuncit dengan nanar, dan dia kembali histeris.
Dia tak berhenti menngis dan berteriak marah
”sudah sebesar ini, bodoh...!!!, bagaimana bisa digugurkan..”
”Sudah berapa bulan ini...jawab ibu, jawab An....“ Ibu berteriak memakiku, dan aku hanya terdiam.
” 6 bulan bu....”
”Tidakk.....” Ibu menangis lebih keras lagi, dia benar benar terpukul, Franda terlihat diam dan memeluknya.
” Tenanglah bu ..” ujarnya seraya menenagkan ibu.
” Bodohnya kau An, dan ini bukan anak Rendy...siapa pria itu, kurang baik apa Rendy padamu...”
Jangan bilang itu pria Jerman bodoh yang sering meneleponmu...
Aku mengangguk seraya menangis terisak
” Bodoh..ibu tidak mendidikmu untuk menjadi perempuan bodoh seperti ini An..”
Aku berlari kearah ibuku...”Ibu maafkan aku, jangan cerita pada ayah...”
”Apa..!!! bagaimana aku tidak bercerita padanya...., dia harus tahu kelakuanmu disana An, bukannya sekolah baik baik malah Bunting!!!!”.
Ibu terus memakiku, dia meluapkan semua gejolak emosionalnya kepadaku, menunjuk nunjuk wajahku, menampar aku, dan memicingkan matanya pada perutku, seolah ingin segera mengoyaknya dan mengeluarkan isinya.....
Mata dan Wajahnya memerah, semerah Api yang menyala.
”Ada apa ini.....”. suara pintu terbuka, ayahku mendengar percakapan dan tangisan yang meledak diruangan itu.
Aku tak mampu mengingat kelanjutannya.
Ibu pingsan, dan ayah hanya terdiam seribu bahasa...
Kecewa...rasa itu memenuhi seisi rumah kami hari itu.
Berlin, September 1999
” An , aku kangen kamu...”, terdengar suara Rendy diujung telepon.
” kamu kangen padaku An....“ aku terdiam sejenak, kutundukkan kepalaku kearah perutku, kubelai lembut perutku yang sudah mengencang itu...
” Iya sayang...., aku juga kangen kamu..“ . Oh Tuhan munafiknya aku...
Rendy begitu mencintaiku, kurasa tak ada lagi pria yang lebih mencitaiku dari dia, kebodohanku telah membuatku berpaling darinya.
” Aku akan menyelesaikan beberapa tugas sepeninggal papa, An..aku akan segera kembali ke Berlin..mungkin awal bulan depan aku akan berangkat kesana, mungkin tidak langsung ke Berlin, mungkin aku akan mengunjungi Tante Alpha di Zurich, hanya beberapa jam dari berlin..., setelah itu aku akan menemui An...”
Jantungku berdetak kencang, ahhhh...tidakkk...bagaimana mungkin.
Aku baru akan melahirkan akhir Oktober, sedangkan Rendy akan kembali ke Jerman pada awal bulan depan Oktober.
”Tuhan selamatkan aku....jangan kau buat Rendy meninggalkanku..” gumamku terisak,
Apakah lebih baik kalau aku jujur saja padanya.
Mungkinkah dia akan mengerti.
Seketika wajah ibu muncul dihadapanku....”Jangan pernah kau bercerita pada Rendy, Rendy pria baik An...jangan kau mengecewakannya. Simpan rahasia ini, kubur seumur hidupmu...akan ibu buang anak itu seusai kau melahirkan.”
Aku tak dapat melawan, aku tak dapat membantahnya..
”Kau mempermalukan keluarga ini, dan sekarang saatnya kau membantu ibu menyelamatkan muka keluarga ini An, turuti ibu...”
Franda mengiyakan ucapan ibu. ”An...kau tidak ingi kehilangan Rendy bukan..?” tukasnya. ” Kita buang bayi itu....”.
Tampaknya Tuhan membantu rencana ibu, aku dan Franda.
Dia membuat Rendy tidak bisa mendapatkan tiket untuk terbang kembali ke Jerman,
Karena mendekati Natal, dan cuaca yang buruk dimusim dingin ini membuat penerbangan ke Eropa menjadi terbatas.
”Maafkan aku Darling, aku tak bisa kesana sekarang...November aku akan menemuimu disana..”
” Perutku semakin membesar, aku hanya menunggunya untuk meledak....”
Kesakita kesakitan kecil mulai melandaku, aku membenci anak ini tapi aku sekaligus menyayanginya...
Dia tumbuh dalam tubuhku.
Dia makan apa yang kumakan, dia bernafasa bersama diriku...
Danny, si pengecut keparat itu sudah menghilang tanpa jejak, sembilan bulan kandunganku...ada dia menanyakan kabarku?
Tidak...
Sudahlah..percuma, aku berharap padanya.
”Danny aku akan membuat anakmu menderita..lihat saja”
Tibalah hari dimana aku akan melahirkan makhluk itu ke dunia,
Ibu dan Franda membawaku secara sembunyi sembunyi keluar dari rumah
di malam hari, cuaca yang dingin dan butiran salju yang turun menusukku hingga ketulang terdalamku .
”Kuharap anak ini mati....”. walau sebenarnya ada bagian dari hatiku yang masih sangat menginginkannya untuk dapat hidup dan tumbuh
Mati bersama kenangan akan Danny yang telah menodai hidupku....
Kumasuki ruangan persalinan,
Semua tampak terang dan dingin.
Kulihat sekilas wajah ibu dan Franda yang tampak lelah dan cemas.
” aku akan baik baik saja bu..” suaraku sudah sayup sayup terdengar akibat pengaruh obat bius.
Kudengar untuk terakhir kalinya ibu berpesan kepada dokter.
”lakukan yang terbaik untuk membuat lukanya tampak kecil dok...”
”berapapun akan saya bayar..”
Setelah itu semua tampak hilang dari ingatanku, rasa mual yang luar biasa membanjiri ruangan ini.
14 November 1999 pukul 06.30AM waktu Berlin
Telah Lahir seorang bayi perempuan...dan tertidur pulas disisiku...
Ditengah kebencian dan kekecewaannya yang memuncak, ibu menggendongnya, sementara aku membuang wajahku darinya dan bayi mungil itu
Bayi itu sangat merah, kecil, bermata biru abu abu dan berambut coklat...
Persis sepeti Danny...
Tepatnya campuran antara Danny dan aku.
Dalam hati aku mengutuknya..
Ibu memberinya nama “Nesta“....
Dia menggendongnya perlahan, dan membawanya keluar dari ruangan tempat aku terbaring
Itulah terakhir kalinya aku melihat ”Nesta” putri kecilku....
Yang akan selalu mengingatkan aku pada Danny.
Seandainya saja dia tidak meninggalkanku, mungkin aku tidak akan sebenci ini pada Nesta.
Chapter 4
Kembali pada Realita
Jakarta , July 2002
Rendy, melingkarkan cincin berlian itu dijariku
Sungguh indah mahal dan kokoh,
sungguh merepresentasikan cinta Rendy padaku....
Abadi...
Dan hari itu kami pun dinyatakan resmi menjadi suami istri.....
Rendy mengecup keningku dan memelukku.
Sungguh hangat terasa pelukan itu, masih dapat kurasakan hingga saat ini.
”Kau cantik sekali hari ini An, sungguh aku tidak salah pilih perempuan untuk kujadikan istriku...”
Rendy mengucapkannya dengan Lantang, sehingga siapaun yang hadir dan duduk didekat kursi kami, dapat mendengarnya.
”Ibu dan Franda...”mereka berdiri disana, menatapku dan seakan nafas mereka tertahan.
Dengan penuh kemunafikan aku menoleh kembali kearah Rendy.
” Iya sayang, terima kasih...aku juga, sungguh beruntung aku memilikimu...”
Terlihat dari sudut mataku, ibu dan Franda tampak kembali tenang.
Walaupun tiga tahun telah berlalu dari kejadian itu, rasa cemas masih mengahntui hidupku dan ibu.
Hanya sejenak setelah semua tamu pulang, Rendy mengajakku untuk segera berangkat berbulan madu...
Ticket, Penginapan sudah diatur dengan rapi dan terencana oleh rendy
Kali ini kupilih Yunani Athena sebagai tempat persinggahan kami.
”Ingin kulupakan Berlin.....” aku berjalan menemui Rendy dengan senyuman termanis yang bisa aku berikan padanya.
”Ayo sayang, nanti kita ketinggalan pesawat ujarnya...”
Aku menghela nafas dan memeluknya.
”Ayoo....” Ujarku manja
January 2009
Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur, masih kuingat ucapan ibu tadi pagi....
”Ahhh... nama anak itu selalu menghancurkan moodku saja”
Kupejamkan mataku, dan aku berteriak kecil dibalik bantalku...”Sial” ujarku kesal
Seperti apa wajahnya sekarang?
Setinggi apa dia...
Apakah wajahnya masih mirip dengan bajingan itu?
Pertanyaan pertanyaan itu memenuhi kepalaku hari ini.
Sudahlah Ana, lupakan..
Aku berusaha mengikuti saran dari suara suara yang selalu menenangkan aku..
Mungkin memang lebih baik melupakannya, hidupku akan lebih tenang, seperti saat ini
”Mamaaaa, mama dimana....” teriak Dinda mencariku.
”Mama disini sayang..”. Dinda berlari kearah kamarku dan menaiki tempat tidur.
”Mama aku capek, mau peluk mama...”
Aku hanya tersenyum dan memeluknya ”sini sayang” kukecup dahinya dan kubiarkan dia bergelayut ditubuhku.
”Dinda, mama capek tuh ,mau istrirahat dulu, Dinda sama kak Sani yah”. Sani memasuki kamarku untuk mengambil Dinda.
”Sudah nggak apa apa San, biar Dinda disini..kamu bantu saja Randa membuat pr nya yah..”
”Baik bu..” Sani meninggalkan kamarku, kini hanya ada Dinda dan aku.
Kembali kukecup kening dan pipinya. ”apakah anak itu mirip Dinda..” kepalaku kembali membayangkan rupanya. ”Ah sudahlah...” kutepis pikiran itu, dan kupeluk Dinda dengan erat.
”Mama Dinda ngantuk, Dinda bobo sama mama yah..”
”Iya sayang...” dinda kembali memelukku.
Aku terbangun....
Terdengar dikejauhan suara yang kukenal.
”Ma, Papa sudah pulang...” Dinda menuruni tempat tidur dan berlari kecil keluar dari kamarku....
”Papaaaaaa......” teriaknya seraya berlari menuju kearah ruang tamu untuk menyambut kepulangan ayahnya.
Aku pun menyusul dinda untuk keluar dan menyambut kedatangan Rendy.
Aku berjalan menuju ruang tamu seraya membenarkan rambutku yang sedikit kacau karena tertidur tadi.
”Sayang..kamu nggak jadi pulang malam?...” Aku menyapa Rendy dan memeluknya.
" Nggak jadi sayang..”. Rendy tersenyum padaku.
Oh ya kamu tahu siapa tadi yang aku temui di kantor?
Rendy melepaskan pelukanku, dan menarik tubuhku kearah kursi dengan pelan.
”ayo tebak..” dia berusaha menjahiliku.
”Siapa..” ujarku sedikit curiga ”Perempuan cantik yah pasti..”
Seraya menggoda balik Rendy...
”Aku bertemu Danny, An...itu dosen sastramu dulu, dia sekarang di Indonesia....”
Sedang dalam study mempelajari sastra Jawa kalau tidak salah tadi katanya, aku bertemu dengannya di Kantin kantorku, dia sedang bersama beberapa teman ”bule” nya.
Nafasku tercekat...Rasa pusing melandaku tiba tiba, dan aku tak sadarkan diri....
”Tuhan, Inikah saatnya aku harus jujur...aku belum siap”
Seketika semua menjadi gelap.. dan akupun terjatuh.
Sayup sayup kudengar Rendy memanggil namaku…..
Suara sirine ambulance menggema dalam tidurku.
”Danny kau memang keparat..”
Subscribe to:
Posts (Atom)